Kamis, 02 Oktober 2014

Home Schooling: Sekedar Trend Atau Sebuah Solusi??



…Banyak anak sekolah yang melihat tapi tidak mempelajari, mengetahui tapi tidak memahami, mendengar tapi tidak mengerti, menghafal tapi tidak mengalami....hingga kelak mereka akan hidup tapi tidak menikmati....dan tidak mampu memaknai... -anonymous
               
 Di Indonesia saat ini masih sangat jarang kita mendengar istilah home schooling. Namun sebenarnya metode home schooling ini sudah umum diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris. Home Schooling sebenarnya lahir dari kekecewaan dan ketidak puasan akan sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan (terutama di Indonesia) hanya menekankan terhadap sisi kognitif saja. Kecerdasan hanya dinilai berdasarkan nilai untuk mata pelajaran Matematika atau IPA, sedangkan untuk pelajaran lain dipandang sebelah mata, seperti kesenian atau olahraga. Sekolah hanya dianggap memasung kreativitas dan kemampuan anak di bidang lain. Padahal menurut Howard Gardner, seorang ahli multiple intelligence and education, dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983) menyebutkan setidaknya ada 7 macam kecerdasan dalam diri manusia, yaitu :
  1. Linguistic Intelligence, berhubungan dengan kemampuan untuk mempelajari, berbicara atau menulis dalam berbagai bahasa dan mengungkapkannya untuk mencapai tujuan tertentu. Misal seorang diplomat, negosiator, dll. 
  2. Logical-mathematical Intelligence, berhubungan dengan kemampuan untuk berpikir secara logis dalam  menganalisa suatu masalah, kemampuan dalam bidang matematik, dan kemampuan melakukan penelitian secara ilmiah. Misal : ilmuwan, insinyur, dll.
  3. Musical Intelligence, berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali komposisi dan mengapresiasi musik, serta kemampuan melakukan pertunjukan yang berhubungan dengan musik. Misal : pemusik, penyanyi, dll.
  4. Bodily-kinesthetic Intelligence, berhubungan dengan kemampuan atau potensi untuk menggunakan sebagian atau seluruh bagian tubuhnya untuk memecahkan masalah, serta bagaimana mengoordinasikan pergerakan tubuh. Misal : atlet, penari, dll.
  5. Spatial Intelligence, berhubungan dengan kemampuan untuk mengenali dan memanfaatkan ruang dan area. Misal : arsitek, pelukis, dll.
  6. Interpersonal Intelligence, berhubungan dengan kemampuan untuk memahami, memotivasi dan mempengaruhi orang lain. Misal : pendidik, politikus, pemuka agama, sales, dll.
  7. Intrapersonel Intelligence, berhubungan dengan kemampuan untuk memahami perasaan, mengetahui kelebihan dan kekurangan seseorang, dan kemampuan mengenali emosi seseorang. Misal : psikolog.
Selain itu di sekolah konvensional, seorang anak akan ditarget dengan angka-angka yang menjadi tolok ukur dalam setiap mata pelajaran, sedangkan tujuan utama dari pembelajaran yaitu melakukan observasi dan eksplorasi terhadap perkembangan dan kreativitas anak menjadi terlupakan. Akibatnya jalan pintas yang dipilih sebagian besar anak atau orang tua untuk mencapai target tersebut. Kita lihat bagaimana mencontek atau berbuat curang menjadi perilaku yang sudah biasa di dunia pendidikan kita. Contoh kecil adalah banyaknya kasus terjadinya kecurangan dalam setiap ujian nasional menunjukkan sudah parahnya sistem pendidikan di Indonesia. Menurut Ayah Edy, penggagas komunitas Indonesian Strong From home, seharusnya anak yang menjadi alat ukur keberhasilan kurikulum dan program pembelajaran dan bukannya menjadikan kurikulum dan program pembelajaran sebagai alat untuk menilai anak.

Alasan lain munculnya fenomena home schooling adalah pengaruh lingkungan dalam membentuk karakter anak menjadi kurang terkontrol. Kita lihat bagaimana perubahan perilaku dan karakter seorang anak hanya untuk mendapatkan status “anak gaul” di kalangan teman-teman sekolahnya. Lalu banyaknya kasus bullying baik secara fisik dan mental dalam lingkungan sekolah. Hal-hal inilah yang mendorong sebagian besar orang tua untuk memindahkan anaknya dari pendidikan formal konvensional menjadi beralih ke metoda home schooling.

Beberapa metode home schooling di Indonesia yang sudah berkembang di beberapa kota besar di Indonesia yaitu Home Schooling Kak Seto (HSKS) dan Home Schooling Ayah Edy. Home Schooling Ayah Edy lebih menekankan pengembangan karakter dan kemampuan anak sesuai potensi unggul alamiah bawaan lahirnya. Metode ini fokus pada 4 hal pokok, yaitu:
  • Activities Plan untuk memberikan sebanyak2 Stimulusi kegiatan pada anak hingga anak lebih banyak mengetahui berbagai macam hal yg ada di lingkup kehidupan sehari2 juga orang tuanya.
  • Media pembelajaran, mencari media pembelajaran dari berbagai mecam hal terutama melalui aktivitas harian yg dilakukan kedua orang tuanya dari pagi hingga sore dan selama satu minggu bulan dan tahun.
  • Melakukan observasi hasil pencapaian masing2 anak secara individual basis tanpa membanding2kan dengan hasil pencapaian anak lain.
  • Mengambil jalur evaluasi formal melalui SISTEM PKBM dan ujian PAKET. (optional)
 Dari berbagai macam metode, ada satu pesan penting yang disampaikan dalam metode home schooling yaitu tidak lagi menetapkan target2 pencapaian pada anak, karena Tuhan secara "built in" (tertanam) telah menetapkan target alamiah masing2 anak berdasarkan perkembangan usia dan tipologi unik masing2 anak, yg dibutuhkan anak hanyalah mendapat kesempatan untuk meng eksplorasi sebanyak2 hal dalam beraktivitas.

Namun begitu, saat ini masih terdapat berbagai macam resistensi perkembangan home schooling di Indonesia terjadi karena masih adanya beberapa mitos yang beredar di masyarakat antara lain:
  • Imej bahwa home schooling hanya untuk anak-anak bermasalah
  • Imej bahwa sekolah konvensional menjadi satu-satunya cara untuk meraih kesuksesan
  • Home schooling akan menjadikan anak menjadi tidak dapat bersosialisasi dengan masyarakat
  • Butuh biaya yang sangat tinggi untuk melakukan home schooling
  • Butuh komitmen, tanggung jawab dan kreativitas yang tinggi dari para orang tua (untuk poin ini sepertinya sebuah mitos yang memang benar)
Home schooling merupakan salah satu alternatif pendidikan yang ada selain berbagai macam metode sekolah alternatif lain selain sekolah formal konvensional. Sekarang pilihan ada di tangan masing-masing orang tua yang pastinya ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Dan dengan banyaknya alternatif ini semoga dapat menjadikan pembelajaran adalah suatu aktivitas yang menyenangkan.

Berikut cuplikan pidato Erica Goldson (siswi SMA) pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School, New York, tahun 2010 yang memberikan gambaran sistem pendidikan yang dilaluinya. Erica Goldson adalah wisudawan yang lulus dengan nilai terbaik pada tahun itu. (Pidato asli : http://archive.lewrockwell.com/pr/valedictorian-against-schooling.html )
“Saya lulus. Seharusnya saya menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti sistem yang ada.
Di sini saya berdiri, dan seharusnya bangga bahwa saya telah selesai mengikuti periode indoktrinasi ini. Saya akan pergi musim dingin ini dan menuju tahap berikut yang diharapkan kepada saya, setelah mendapatkan sebuah dokumen kertas yang mensertifikasikan bahwa saya telah sanggup bekerja.
Tetapi saya adalah seorang manusia, seorang pemikir, pencari pengalaman hidup – bukan pekerja. Pekerja adalah orang yang terjebak dalam pengulangan, seorang budak di dalam sistem yang mengurung dirinya. Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat anak-anak lain masuk ke kelas lupa mengerjakan PR mereka karena asyik membaca hobi-hobi mereka, saya sendiri tidak pernah lalai mengerjakan PR saya. Saat yang lain menciptakan musik dan lirik, saya justru mengambil ekstra SKS, walaupun saya tidak membutuhkan itu. Jadi, saya penasaran, apakah benar saya ingin menjadi lulusan terbaik? Tentu, saya pantas menerimanya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkannya, tetapi apa yang akan saya terima nantinya? Saat saya meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya menjadi sukses atau saya akan tersesat dalam kehidupan saya?
Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya mulai ketakutan…….”

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar